Fakta tentang Paxlovid, Obat COVID Pfizer yang Bakal Masuk RI di Tahun 2022

0
Novel coronavirus disease 2019-nCoV written on blue folder.

Novel coronavirus disease 2019-nCoV written on blue folder.

Berbagi Informasi :

Perusahaan farmasi asal Amerika Pfizer menciptakan sebuah pil yang dapat mencegah COVID-19. Pil dengan nama Paxlovid ini diklaim bisa mengurangi kasus rawat inap dan kematian pada orang yang berisiko tinggi mengalami kondisi parah yang disebabkan oleh usia dan riwayat penyakit. Temuan ini didapat dari hasil analisis terakhir yang dilakukan Pfizer.

Sebelumnya, pada November, Pfizer juga melakukan analisis yang menyebutkan bahwa obat buatan mereka hampir 90 persen mampu memangkas kasus rawat inap dan kematian jika diminum dalam tiga atau lima hari sejak timbulnya gejala. Studi laboratorium awal menunjukkan bahwa obat yang mudah diminum akan mampu bertahan melawan varian Omicron.

“Antivirus oral menawarkan berbagai manfaat yang signifikan. Salah satunya adalah oral … Orang tidak perlu melakukan kontak dengan sistem perawatan kesehatan melainkan dapat menerima perawatan di rumah,” kata Roy Gulick, kepala divisi penyakit menular di Weill Cornell Medicine, dikutip dari Washington.

Pengobatan secara oral ini disebut sangat dibutuhkan di tengah lonjakan COVID-19 terutama yang disebabkan oleh varian Delta maupun Omicron.

Baca juga: Pfizer Umumkan Pil Antivirus COVID-19 Paxlovid 90 Persen Manjur Lawan COVID-19!
Namun, seperti obat lainnya, Paxlovid juga memiliki beberapa kondisi yang dapat menimbulkan risiko pada sebagian orang. Dilansir dari NBC, Paxlovid dapat berisiko bila pemakaiannya digabungkan dengan obat lain.

  • PlayUnmute
  • Loaded: 1.00%
  • Fullscreen

Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat sebelumnya mengizinkan Paxlovid boleh digunakan untuk mengobati COVID-19 kondisi ringan hingga sedang pada orang berusia 12 tahun ke atas yang memiliki kondisi tertentu yang berisiko mengalami rawat inap dan kematian, seperti penyakit jantung atau diabetes. Namun demikian, FDA mengungkapkan bahwa salah satu dari dua kandungan pada obat ini dapat menyebabkan interaksi yang berbahaya bahkan mengancam jiwa.

Paxlovid sendiri memiliki dua kandungan obat, yakni nirmatrelvir dan ritonavir. Bila ditelusuri lebih jauh, obat ritonavir yang terkandung dalam Paxlovid ini umumnya digunakan dalam terapi infeksi HIV. Ritonavir mampu menekan enzim yang disebut CYP3A, yaitu enzim yang memetabolisme banyak obat, termasuk nirmatrelvir.

Dalam kasus Paxlovid, Ritonavir digunakan untuk memperlambat pemecahan antivirus aktif dalam tubuh dan membantunya tetap pada tingkat terapeutik yang lebih lama.

Yang menimbulkan kekhawatiran adalah ketika Paxlovid digabungkan dengan obat lain yang juga dimetabolisme oleh enzim CYP3A, ini bisa saja menyebabkan ritonavir berubah menjadi ‘racun’.

Masalahnya, obat-obatan yang berisiko mengalami interaksi yang parah ketika digabungkan adalah obat-obatan yang banyak diresepkan untuk orang-orang yang berisiko tinggi terkena COVID-19 karena kondisi kesehatannya. Obat-obatan tersebut merupakan obat pengencer darah, obat anti kejang, obat untuk jantung yang berdebar, obat untuk darah tinggi dan kolesterol tinggi, antidepresan dan anti kecemasan, imunosupresan, steroid (termasuk inhaler), pengobatan HIV, dan obat disfungsi ereksi.

“Beberapa interaksi potensial ini tidaklah sepele, dan beberapa penggabungan obat harus benar-benar dihindari,” kata Peter Anderson, seorang profesor ilmu farmasi di Kampus Medis Universitas Colorado Anschutz.

“Beberapa mungkin bisa dikontrol. Tapi beberapa lainnya perlu diwaspadai,” sambungnya.

FDA sendiri telah menerbitkan daftar obat-obatan yang berbahaya bila dikonsumsi bersamaan dengan ritonavir yang terkandung dalam Paxlovid.

Meski demikian, para apoteker menekankan bahwa banyak interaksi obat yang bisa dikelola. Apoteker juga menyarankan untuk tidak menghalangi orang-orang dalam menggunakan Paxlovid.

“Apoteker adalah ahli yang sangat terlatih dalam keamanan dan pemantauan pengobatan serta merupakan sumber informasi dan saran yang sangat baik mengenai interaksi antara obat dan juga suplemen dan produk herbal,” kata Emily Zadvorny, apoteker klinis yang merupakan direktur eksekutif dari Colorado Pharmacists Society.

“Mereka akan membantu menentukan apakah ada interaksi yang signifikan dan memberikan solusi untuk mengurangi interaksi jika memungkinkan,” tuturnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *