Waspada, Hipertensi Dapat Merusak Otak : Kendalikan Tekanan Darah dan Cegah Stroke !

0
WhatsApp Image 2022-08-31 at 3.12.54 PM
Berbagi Informasi :

Jakarta – Hipertensi dapat menyebabkan gumpalan darah otak mengeras dan aliran darah menuju otak terhambat sehingga memicu terjadinya stroke, mulai dari skala ringan (Transient Ischaemic Attack / TIA) sampai stroke berat yang bisa menyebabkan kecacatan menetap / mengancam jiwa, terutama jika Hipertensi tidak ditangani. Maka, mengelola hipertensi dengan baik sangat dibutuhkan untuk dapat mencegah terjadinya Stroke tersebut. Masyarakat dihimbau untuk mengenali dan mengendalikan tekanan darah sendiri untuk menghindari penyakit berbahaya yang tidak diinginkan.

Salah satu bentuk kontrol tekanan darah yaitu dengan rajin mengukur tekanan darah sendiri dengan home blood pressure monitoring (HBPM).

Dalam kegiatan Virtual Media Briefing yang dilaksanakan pada (31/08/2022), dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S. Menyampaikan tentang kewaspadaan terhadap Hipertensi yang dapat merusak otak dan pentingnya mengendalikan tekanan darah.

dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, yang merupakan Dokter Spesialis Saraf RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, menjelaskan, “Hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian stroke. Setiap kenaikan tekanan darah sistolik 2 mmHg akan meningkatkan risiko Stroke 10% pada orang dewasa. Hipertensi sendiri ditemukan pada 64-70% kasus Stroke”.

“Secara mekanisme, tekanan darah tinggi pada dasarnya menyebabkan kerusakan sel dinding pembuluh darah (sel endotel) dan mengganggu fungsi dari otot di dinding pembuluh darah nadi / arteri. Kondisi ini dapat membuat arteri menjadi kaku dan tersumbat. Bila arteri yang tersumbat ada di bagian otak, hal ini akan membuat otak tidak mendapatkan aliran darah dan oksigen yang cukup, sehingga semakin lama semakin banyak sel / jaringan otak yang mulai mati. Hal ini membuat seseorang berada pada risiko stroke yang jauh lebih tinggi. Kerusakan endotel dan lapisan otot pembuluh darah arteri karena Hipertensi juga dapat menyebabkan penipisan dinding pembuluh darah arteri di otak yang dapat mengakibatkan arteri bisa / mudah pecah dan menyebabkan perdarahan di otak.”, tambahnya.

Menurut Data World Health Organization (WHO) pada 2021 terdapat 1,4 milyar penduduk dunia hidup dengan Hipertensi. Dan hanya 14% yang memiliki tekanan darah terkontrol. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018 menunjukkan prevalensi Hipertensi 34,31% dan hanya 8,8% yang terdiagnosis, 13% yang tidak minum obat, serta 32,3% yang minum obat namun tidak teratur. Kondisi ini hampir sama dengan hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI), di mana tekanan darah tidak terkontrol pada 2017 menunjukkan 62,8% (di daerah urban) dan pada 2018 mencapai hingga 78% (mencakup daerah urban dan rural).

Hipertensi sendiri merupakan penyakit kronik yang tidak bisa disembuhkan. Jika tekanan darah seseorang sudah mencapai target bukan berarti dia sembuh, tapi terkontrol. Kalau sudah terkontrol maka diharapkan bisa menghindari komplikasinya, salah satunya kerusakan otak seperti Stroke. Sayangnya, banyak orang tidak mengetahui bahwa dirinya telah menderita tekanan darah tinggi karena seringkali tidak adanya gejala. Sering sekali seseorang terserang Stroke tiba-tiba karena hipertensinya, tetapi si penderita tidak pernah tahu bahwa dirinya memiliki hipertensi. Oleh karenanya, hipertensi sering disebut sebagai pembunuh senyap atau “silent killer”.

“Dari segi beban ekonomi untuk Indonesia, Hipertensi merupakan salah satu penyakit katastropik dan menyerap anggaran BPJS yang cukup besar. Menurut data BPJS, pembiayaan Hipertensi tahun 2016 meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Selain itu, secara tidak langsung, Hipertensi dan komplikasinya menyebabkan turunnya produktivitas karena morbiditas, disabilitas dan mortalitas bahkan pada usia muda,” tutur dr. Eka.

Menurut BPJS Kesehatan, Stroke menjadi salah satu yang memiliki biaya tertinggi, mencapai Rp 2,56 triliun pada 2018. Inilah mengapa Stroke perlu diperhatikan dengan serius.

dr. Eka juga menambahkan, “langkah paling awal untuk mencegah Stroke adalah mengendalikan tekanan darah. “Selain untuk pencegahan primer Stroke, penurunan tekanan darah juga penting mencegah berulangnya Stroke. Penurunan tekanan sistolik 10 mmHg akan menurunkan risiko stroke hingga 27% dan besarnya penurunan tekanan darah secara linear akan mengurangi risiko stroke berulang,” tutur dr. Eka.

“Maka pertama-tama, perlu diperhatikan faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan hipertensi itu sendiri, seperti usia, obesitas, makanan yang terlalu mengandung garam dan sedikit kalium, kurangnya berolahraga, merokok dan konsumsi alkohol, hingga stress. Faktor risiko tersebut mampu membuat tekanan darah tidak stabil. Saat ini, ada dua faktor risiko tambahan yang juga perlu diperhatikan seperti udara dingin dan polusi udara,” tutur dr. Eka.

Dalam presentasinya, dr. Eka kembali menjelaskan, “Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Salah satu yang menjadi tantangan dalam penanganan hipertensi adalah pasiennya kadang tidak sadar kalau mereka mengidap hipertensi dan baru ketahuan saat tekanan darah sudah di angka yang sangat tinggi.”

Terkait pengobatan Hipertensi untuk mencegah Stroke, selain pencegahan primer, pencegahan sekunder juga tidak kalah penting. Penelitian acak terkendali (Randomized Controlled Trial / RCT) menunjukkan bahwa pengobatan dengan obat anti-hipertensi dapat menurunkan risiko Stroke hingga 32%. Beberapa golongan obat dimasukkan sebagai lini pertama yaitu golongan Calcium-channel blockers (CCB), Anti Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensinogen Receptor Blocker (ARB) dan beta blocker.

Eka menjelaskan, “Selain efektivitas dan keamanan obat, saat memilih obat juga perlu mempertimbangkan kestabilan dosis obat dalam darah yang dapat mempertahankan tekanan darah dalam 24 jam, sehingga frekuensi pemberian obat bisa dikurangi. Golongan CCB bekerja dengan mengurangi kekakuan dinding pembuluh darah dan menyebabkan pembuluh darah arteri melebar. Golongan CCB adalah obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia karena efektivitas dan keamanannya.”

Salah satu obat golongan CCB adalah Nifedipine. Nifedipine konvensional mempunyai waktu paruh yang pendek sehingga harus diberikan 3 kali sehari. Namun, dengan adanya inovasi teknologi GITS (Gastro-Intestinal Therapeutic System), Nifedipine dapat diminum 1 kali sehari saja untuk menurunkan tekanan darah.

“Penelitian menunjukkan, pemberian Nifedipine GITS dapat menurunkan tekanan darah lebih besar dibandingkan jenis CCB lainnya. Frekuensi pemberian obat hanya 1 kali akan meningkatkan ketaatan pasien terhadap pengobatan hipertensi sehingga target penurunan tekanan darah dapat dicapai,” tambahnya.

dr. Gunawan Purdianto, Medical Affairs Divisi Pharmaceuticals Bayer Indonesia, mengatakan, “Bayer berkomitmen terhadap kesehatan pasien dengan terus berupaya menyediakan akses yang luas bagi pengobatan Hipertensi bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satunya dengan ketersediaan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan regular. Bayer menyakini bahwa prioritas utama pada pasien adalah kepatuhan pasien dalam pengobatan penting untuk dilakukan. Hal ini memotivasi Bayer dalam menciptakan solusi terbaik melalui obat-obatan yang inovatif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien.”

“Selain itu, Bayer juga senantiasa meningkatkan kesadaran pasien terkait Hipertensi di Indonesia dengan terus melakukan edukasi kepada masyarakat luas, salah satunya lewat media massa. Sehingga ke depannya, kami berharap untuk terus dapat berkontribusi agar pasien Hipertensi selalu mendapatkan pengobatan yang lebih tepat dan lebih baik,” tutup dr. Gunawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *