Ahli Radiologi “Yopi Simargi”, Raih Gelar Doktor dengan Penelitiannya Terkait CT Scan Toraks untuk Mendeteksi Risiko Demensia

Jakarta – dr. Yopi Simargi, Sp.Rad., Subsp. TR (K), MARS telah resmi meraih gelar Doktor pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan desertasinya yang berjudul “Peran CT Scan Toraks Kuantitatif, HIF-1α, dan Faktor Klinis Terhadap Kejadian Hendaya Kognitif pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik” (31/07/2024).
Penelitian ini menunjukkan pentingnya CT Scan Toraks Kuantitatif (CTK) sebagai pemeriksaan tambahan pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Dengan demikian, tatalaksana holistik dapat dilakukan lebih awal, hal ini akan membantu menurunkan risiko Demensia pada pasien PPOK (yang pada pasien dengan HK memiliki tiga kali lebih berisiko terkena Demensia dalam 2-5 tahun).
Secara global, data WHO 2019 mencatat PPOK sebagai penyebab ketiga kematian (3,23 juta), dan diperkirakan kematian PPOK akan mencapai 5,4 juta pada 2060. PPOK sangat umum terjadi, namun di Indonesia sendiri PPOK bisa dikatakan kurang terdeteksi dengan baik, terlihat dari data PPOK nasional yang masih tergolong minim.
Tanpa disadari, penyakit ini mampu menurunkan kualitas hidup pasien. PPOK merupakan kondisi peradangan paru kronis yang menyebabkan terhambatnya aliran udara dari paru-paru. Pasien akan mengalami sesak napas yang kian memburuk, serta rentan infeksi sehingga menyebabkan serangan akut / eksaserbasi akut.
Dr. dr. Yopi Simargi, Sp.Rad., Subsp. TR (K), MARS, dokter ahli radiologi subspesialis radiologi toraks yang kini sudah bergelar Doktor, menjelaskan dalam sidang terbukanya hari ini bahwa, “HK merupakan kondisi di antara normal dan demensia, yang kemudian berpotensi berkembang menjadi demensia. PPOK dan demensia berbagi faktor risiko utama, yaitu polusi udara termasuk merokok yang dianggap sebagai polusi udara berat.
Sebuah studi pada 534 pasien PPOK dengan HK, sebanyak 28,7% telah berkembang menjadi demensia. Hal ini kemudian berhubungan langsung dengan semakin menurunnya kemampuan kognitif mereka, termasuk semakin hilangnya kepatuhan pasien PPOK dengan HK ini untuk melakukan pengobatan rutin mereka. Bukan secara sengaja tidak patuh, melainkan kemampuan kognitifnya yang menurun mengakibatkan pasien sering lupa.”
Terkait faktor pemicu terbentuknya HK pada pasien PPOK, ada beberapa mekanisme yang bisa dilihat, seperti: inflamasi sistemik, hipoksia kronik, stres oksidatif, gangguan vaskular, gaya hidup sedenter, serta memiliki komorbid gangguan kognitif. Hipoksia kronik dianggap sebagai faktor paling besar yang menyebabkan pasien PPOK mengalami HK.
Dr. Yopi yang juga merupakan staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, serta Kepala Instalasi Radiologi RS Atma Jaya, menjelaskan, “Selama ini hipoksia yang dilihat dari adanya peningkatan ekspresi HIF-1 alpha (efek respon homeostasis terhadap tekanan oksigen yang rendah).
“Sejauh ini, belum ada penelitian yang menganalisis peran parameter CTK dalam patomekanisme kejadian HK. HK bisa langsung ditemukan pada PPOK yang parah, sedangkan pada tahap awal PPOK, HK lebih sering tidak terdiagnosis, menyebabkan hilangnya kesempatan pemberian terapi dini jika terjadi HK.
Temuan ini diharapkan mampu membantu manajemen PPOK. Teori patomekanisme yang diusulkan ini sudah diterima dalam publikasi sebuah jurnal internasional yang khusus membahas PPOK dengan indeks scopus tertinggi Q1, yaitu International Journal of COPD,” jelas Dr. Yopi.
“Sehingga, dengan adanya temuan bermakna parameter CTK dengan HK, dan bagaimana inflamasi sistemik perlu dipelajari pada pasien PPOK, maka CTK dapat diusulkan untuk digunakan lebih awal sehingga dapat menjadi alarm adanya HK pada pasien PPOK dan pasien bisa langsung mendapatkan tatalaksana yang tepat untuk HK secara paralel,” tutur Dr. Yopi.
Terkait data parameter CTK yang dimaksud, yaitu area paru dengan kepadatan rendah (%LAA) yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan parenkim paru dan kemudian berpengaruh terhadap fungsi paru dan HK. Semakin luas area paru dengan kepadatan rendah akan menyebabkan fungsi paru menurun sehingga risiko terjadinya HK meningkat.
“Pasien PPOK dengan HK tentu mengalami penurunan fungsi kognitif, apalagi yang sudah sampai tingkat Demensia. Tantangan terbesarnya adalah mereka kurang patuh pengobatan akibat sering lupa. Maka, awareness dari support system seperti keluarga dan rekan-rekan terdekat sangat dibutuhkan sehingga bisa hadir untuk mengingatkan pasien dalam pengobatannya”.
Edukasi untuk meningkatkan kesadaran dokter, penyedia layananan kesehatan, pengambil kebijakan, dan keluarga pasien perlu dilakukan sehingga tantangan dalam tatalaksana dapat diatasi dengan tepat,” tutupnya.